( Kumpulan artikel dari berbagai sumber tentang musik DANGDUT dan perkembangannya)
DANGDUT GO INTERNATIONAL
THE King of Dangdut makin yakin jika dangdut akan Go International. Salah satu alasannya adalah sambutan positif dari penggemar di Amerika Serikat terhadap penampilan Soneta beberapa bulan lalu. Ditengah suasana membahagiakan itu, dalam waktu dekat Rhoma Irama berniat akan patenkan musik dangdut lebih dulu sebelum diakui negara lain. “Sengaja saya tak mengubah lagu saya ke dalam bahasa Inggris saat tampil di Amerika,” katanya. Maklumlah Bang Haji melihat banyaknya pencaplokan hasil karya budaya di dunia internasional. Beliau tak ingin itu terjadi terhadap musik dangdut. “Saya yakin dangdut bisa go international dengan musiknya yang revolusioner” tandasnya. Ditambahkan, inilah saatnya musik Indonesia merambah ke manca negara dan Rhoma Irama bersama Soneta yang menjadi pembuka jalannya. Bagaimana hasilnya, kita doakan saja!
Musik dangdut mendunia dengan menyerbu pusat budaya di 75
negara, sejak revolusi dangdut berkobar pada 1970-an.
"Sejak revolusi dangdut yang pertama dulu (1970-an), musik dangdut
terus berkembang dan bahkan diminati masyarakat dunia. Saat ini sudah
dipelajari oleh pusat budaya di 75 negara," kata H Rhoma Irama, saat
menghadiri acara peluncuran album Dangdut in America yang menampilkan penyanyi muda asal Marryland, AS, Arreal Tilghman, di Jakarta, Selasa.
Rhioma, yang menyandang gelar 'The King of Dangdut' mengungkapkan,
musik dangdut di Amerika pertama kali dipelajari oleh Profesor Andrew
Winebourg di University of Pittsburg. "Dari sini musik dangdut kemudian
menyebar ke berbagai negara."
Menanggapi munculnya Arreal Tilghman sebagai warga AS pertama yang
membuat album dangdut, Bang Haji (sapaan akrab Rhoma Irama) menyebutnya
sebagai kejutan besar.
Arreal Tilghman adalah juara audisi 'Dangdut in America' yang digelar selama dua tahun oleh promotor/produser Rissa Asnan.
"Audisi ini sungguh tidak mudah, Arreal ini saya dapat lewat audisi
terakhir tahun lalu, yang digelar di Delaware, Philadelphia," katanya.
Arreal, seorang warga AS berkulit hitam, menyatakan dirinya sebelum
mengikuti audisi Dangdut in America bekerja sebagai petugas pemadam
kebakaran.
"Saya tertarik mendengar dangdut, karena musik ini tidak ada di
negara saya. Saya mempelajari lagu "Dara Muda" ciptaan Rhoma Irama, dan
saya menang. Lagu itu luar biasa, membuat orang asyik bergoyang,"
katanya.
Peluncuran album Arreal Tilghman ini merupakan kegiatan kedua, setelah sebelumnya diluncurkan di Amerika pada November lalu.
Album itu sendiri berisi delapan lagu, antara lain Puzzle of Love, Sejak Kehadiranmu, I Love You, Duhai Kekasih, You`re The Only One, dan You.
Menjawab wartawan, sang penyanyi mengatakan "Saya tidak bisa
memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang. Tetapi peluncuran di
Amerika kemarin mendapat sambutan luar biasa."
Rhoma Irama, saat diminta berkomentar tentang cengkok suara Arreal,
menyatakan, "Secara umum karakter suaranya memenuhi spesifikasi untuk
penyanyi dangdut.
RHOMA IRAMA DAN DEEP PURPLE
Harian Kompas, 3 Mei 2002
"Superstar" dangdut, Rhoma Irama (55), tampak di antara penonton konser Deep Purple, Selasa (30/4) lalu. Rhoma datang bersama putranya, Ficky (25), yang seperti bapaknya sama-sama menyukai rock, selain dangdut. Pendiri dan pemimpin grup dangdut Soneta itu memang menggemari Deep Purple, terutama pada permainan gitaris Richie Blackmore yang kini tak lagi bergabung. Saking gandrungnya, sampai-sampai Rhoma memasukkan unsur rock dalam musik dangdut.
"Saya dulu ambil sense of rock music agar Soneta kompetitif dengan rock. Deep Purple itu kan hard rock tapi sweet, manis dan melodius, jadi cocok untuk dangdut. Jadi, ini juga suatu strategi. Lagu Soneta, Badai Fitnah, itu kan rock banget," tutur Rhoma.
Jangan heran jika dalam lagu Soneta berjudul Sahabat, Rhoma memainkan gitar bergaya rock, dan bernyanyi diselingi suara terkekeh-kekeh pendek, "He-he-he!" mirip-mirip gaya vokalis Deep Purple, Ian Gillan, dalam lagu Speed King yang ditampilkan dalam konser.
Kini, kata Rhoma, dangdut menjadi lebih dinamis. Liriknya tidak lagi pesimistis, dan musiknya seakan harus menggunakan unsur gitar rock seperti dirintis Rhoma seperempat abad silam.
Konser Deep Purple itu mengingatkan Rhoma pada era 1970-an saat terjadi "perang" antara dangdut dan rock. Saat itu, kenang Rhoma, terjadi polemik tajam di media seputar musik dangdut dan rock. Implikasinya sampai ke penggemar. "Akhirnya ada konser perdamaian di Istora pada 1979. God Bless mewakili rock, dan Soneta wakili dangdut. Kita melepas burung merpati sebagai simbol perdamaian." (XAR)
sebelumnya bang haji pernah tampil di Singapura pertama tahun 1972 tatkala ia ambil bagian dalam Asean Festival of Pop Singers. Waktu itu Rhoma menyanyikan lagu Tom Jones, I Who Have Nothing trs tahun 1995
SEJARAH DANGDUT
Merunut perjalanan musik Dangdut, sebenarnya belumlah berkurun waktu lama. Catatannya baru mulai di era 70an.Tapi jika ingin mengikutsertakan cikal bakalnya, kita harus menengok ke awal dekade 50an. Kita harus memasuki dan mengenali musik melayu Deli yang berada di Sumatra. Dan kalaupun mau, kita masih bisa menelusuri sejarah musik Melayu Deli ini.
Tapi baiklah, road to dangdut ini kita mainkan dalam rentang 50an hingga hari ini. Untuk memudahkan, marilah kita menertibkan fikiran untuk menyimak dua buah lagu. Yang pertama, putarlah lagu Harapan Hampa karya Mashabi yang pada awalnya dinyanyikan oleh Nur Ain, lalu dipopulerkan oleh Hasna Thahar. Setelah itu putarlah lagu Mbah Dukun karya Endang Kurnia yang dinyanyikan oleh Alam. Kita pasti berkomentar bahwa ke dua lagu tersebut adalah dua hal yang berbeda. Atau bisa juga
kita simak dua komposisi yang cukup terbilang dahsyat, yang satu judulnya Kuda Lumping milik Rhoma Irama dan satunya lagi Goyang Dombret milik Ukat S. Rentang waktu penciptaan diantara dua lagu yang boleh dibilang magis itu -karena mampu membuat crowd- cukup senggang. Begitulah dangdut, kendati belum lagi terbilang lama, tapi dalam perjalanannya, musik melayu ini mempunyai tiang-tiang atau rambu-rambu yang menandakan akan kurunnya.
Dalam road to Dangdut ini, kita coba menguaknya ke dalam 3 dekade. Pertama periode 1950-1970. Pada periode inilah kita menamai sub ini sebagai Melayu Modern. Di dekade 50an ada beberapa Orkes Melayu (OM) yang menjadi pentolan, seperti OM Sinar Medan yang dikomandoi oleh Umar fauzi Azeran. Di dalam OM ini bergabung beberapa penyanyi seperti Emma Gangga, Hasna Thahar. A. Harris atau juga Munif Bahasuan. Lalu ada pula OM Kenanga pimpinan Husein Aidid dengan penyanyi Juhana Sattar, R.O Unarsih, OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik dengan sederet penyanyi, antara lain Nur’ain, Neng Yatima, atau Suhaimi. Dan ada pula OM Irama Agung yang dipimpin oleh S Effendi. Lalu di atas itu tercatat beberapa nama OM antara lain OM Candralela dengan penyanyi Elly Agus, OM Sinar Kemala dengan penyanyi andalan A Rafiq dan tercatat pula OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria dengan penyanyi andalan Elvy Sukaesih dan Titing Yenny.
Salah satu ciri khas orkes melayu pada saat itu antara lain, nama pimpinannya merupakan sebuah jaminan mutu, lalu setiap orkes melayu mempunyai lebih dari 3 penyanyi. Dan para penyanyi itu tentu saja berpindah-pindah dari satu OM ke OM lain. Biasanya, bila sang penyanyi (terutama penyanyi pria) sudah merasa besar, iapun mendirikan OM sendiri. Begitulah regenerasi OM pada saat itu.
Sedangkan ciri equipmentnya adalah, alat musiknya akustik, dengan standarisasi melayu, seperti akordion, suling, gendang, madolin, dan dalam perkembangan di era ini adalah organ mekanik serta biola. Dari hal ini bisa kita kukuhkan opini para pengamat musik terdahulu yang berkesimpulan bahwa Dangdut dan cikal bakalnya sangat dipengaruhi oleh musik-musik dari India, Arab, Tiongkok, dan barat (terutama dari Spanyol, Portugis dan Belanda). Ciri lagunya, sangat pakem, terutama
pada intro, dan interlude. Iramanya terbagi dalam tiga bagian yaitu senandung (sangat lambat), lagu dua (iramanya agak cepat) dan makinang (lebih cepat ). Liriknya masih lekat pada pantun, dan irama musiknya sangat melankolik. Jika ingin mengenal lagu lagu dalam dekade 50-60 ini maka kita bisa menyimak lagu-lagu seperti Burung Nuri, Harapan Hampa, Seroja atau Boneka Dari India.
Kedua adalah periode 1970-1990. Memasuki tahun 70, sesuai dengan perkembangan tehnologi, Dangdut mau tak mau harus menyesuaikan performnya dengan jaman. Karena hadirnya instrumen-instrumen elektrik, warna Dangdut ikut berubah. Kendati warna India (pada cengkok), dan Latin (perkusi yang makin doninan) tetap menjadi patokan, tapi unsur-unsur musik lain, seperti seperti rock dan blues menjadi mainan baru bagi musik ini.
Di era 70an, Dangdut seakan menemukan kostumnya yang lebih rapi. Inilah masa peralihan dari musik orkes melayu modern ke musik Dangdut. Dan tak dapat disangkal, kehadiran Rhoma Irama dengan Sonetanya menjadi sebuah momentum yang akbar. Masuknya sound rock (tepatnya sound milik Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple), terutama dengan distorsi pada gitar membuat Dangdut menjadi fenomenal.
Tak hanya itu, Rhoma Irama juga membawa pembaruan dalam showmanship. Kostumnya tak lagi ala teluk belanga dengan kopiah hitam, tapi berganti dengan celana ketat, kaus dengan belahan dada yang lebar, dan sepatu boots. Ingat saja menampilan Rhoma Irama ketika duet dengan Rita Sugiarto dalam klip lagu andalannya, Santai.
Karena memasuki kamar rock, maka ketika itu orang-orang rock pun merasa agak risih. Perihal Dangdut masih dianggap sebagai musik kaum marginal, yang masih dipandang sebelah mata oleh orang rock, itu dinyatakan secara frontal oleh Benny Soebardja. Gitaris Giant Step ini berkomentar bahwa musik Dangdut iyu taik kucing. Tak alang kepalang, masalah ini menjadi konflik yang panas di dua kubu musik ini. Beberapa diskusi kecilpun dibahas. Melihat dari sisi positifnya, karena hal itu pula Dangdut makin dilirik oleh masyarakat banyak. Rhoma tampil dengan arif dalam menghadapi masalah ini, dampaknya, nama Rhoma makin melambung.
Satu yang perlu dicatat dalam percaturan dunia musik Indonesia, kita tak terbiasa menghadapi polemik-polemik dengan ilmiah. Perseteruan Benny Soebardja terhadap Dangdut hanyalah salah satu kasus. Tapi ada satu hal yang belum terungkap. Pada tahun 1976, Ian Antono dan Achmad Albar (gitaris dan vocalis group rock Godbless) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dengan tiba-tiba melangsir album rock dangdut yang berjudul Zakia. Yang membuat lain, musik yang mereka buat benar-benar charming untuk ukuran Dangdut. Saya menduga bahwa Ian Antono ingin memberi tahu kepada rekan-rekan musisi Dangdut, bahwa beginilah harusnya lagu-lagu
Dangdut diaransemen. Sementara pada tahun itu di dunia dangdut belum lahir kepermukaan posisi seorang penata musik. Pengakuan penata musik di industri rekaman Indonesia baru muncul pada dekade 1990.
Tapi entah kenapa juga, album Zakia di sambut dingin oleh musisi Dangdut pada masa itu. Sedangkan pemusik rock malah tampak sebal pada proyek ini. Deddy Stanzah, bassist, voclais dan pendiri Rollies, (alm) bahkan menuduh mereka sebagai pengkhianat rock. Tapi yang pasti, lagu Zakia tersebut boleh dibilang salah satu lagu Dangdut yang lestari hingga hari ini.
Tapi apapun tantangan Dangdut dalam soal figur, ia tetap berkembang. Setelah Rhoma mengadakan pembaruan pada dekade 70, maka pada dekade 80an Dangdut berkembang lagi. Ledakan Tarantula (diprakarsai oleh Reynold Panggabean, mantan drummer Mercy’s dan Camelia Malik) dengan musik eksperimen yang lebih condong ke Latin itu menggebrak dunia permusikan Dangdut. Lagu seperti Colak-colek atau Wakuncar mengalami masa booming. Bedanya, jika Rhoma Irama pada akhirnya condong pada tema-tema yang relegius, maka Tarantula tampil dengan tema-tema yang remaja dengan ungkapan-ungkapan yang gaul.
Pada 80-an ini pulalah, lagu-lagu yang menjadi hits mulai menampakan gejala yang lain, yaitu unsur India makin tipis pengaruhnya pada dekade ini. Hal ini bisa kita simak seperti pada lagu Mandi Madu, Sakit Gigi atau pada lagu Duh Engkang. Bahkan lagu Duh Engkang, merupakan trend baru dalam perjalanan musik dangdut. Sejak lagu ciptaan Muchtar B ini di edarkan, Dangdut boleh dibilang kemasukan unsur tradisional. Sejak itu lahir lagu-lagu Dangdut dengan kombinasi etnik. Tapi disisi lain,
ada pula kembangan lain yang perlu dicatat, yaitu hadirnya pengaruh disco. remix atau beberapa lagu Dangdut dalam format pop. Atau Dangdut saduran dari lagu-lagu asli India, atau dari beberapa negara lain. Dan di era ini pula , Dangdut kedatangan penghuni baru, yaitu hadirnya pecipta-pencupta pop yang menemasuki wilayah Dangdut. Catat saja misalnya lagu Sakit Gigi yang diciptakan Obbie Messakh. Atau hadirnya pemusik pop dalam penggarapan lagu-lagu Dangdut, seperti lagu Mandi
Madu, dimana session playernya terdiri dari Mus Mujiono (gitaris jazz), Chairul D’Loyd (drammer).
Terakhir adalah era 1990-2002. Inilah masa-masa Dangdut menjadi sangat variatif. Dangdut sudah menjadi sebuah terminal, dimana di dalamnya lalu lalang hampir semua jenis dan aliran musik lainnya. Dan kalau kita lihat lagu-lagu Dangdut era terakhir, fenomenanya adalah kristalisasi dari bentuk-bentuk Dangdut awal. Salah satu tegasnya adalah lagu Mbah Dukun yang merupakan kristalisasi dari Dangdut era 70an. Di kekiniannya, Dangdut sudalah universal dan establish ( http://arthamusic.110mb.com/dangdut.html )
THE KING OF DANGDUT : RHOMA IRAMA
“aku mau bicara soal musik, tentu saja bagi para penggemar musik..
dimana-mana di atas dunia banyak orang bermain musik, bermacam-macam jenis
musik, dari yang pop sampai klasik..,musik yang kami perdengarkan musik yang berirama melayu
siapa suka mari dengarkan, yang tak suka minggir !
bagi pemusik yang anti melayu, boleh benci jangan mengganggu, biarkan kami
mendendangkan lagu, lagu kami lagu melayu..”
Syair di atas adalah sepenggal lirik dari lagu berjudul “Musik” yang diciptakan oleh Rhoma Irama pada akhir Tahun 1970-an, tampak jelas dari lirik di atas bahwa ketika lagu ini di buat, kala itu musik dangdut dianggap sebagai musik “kampungan” oleh sebagian orang di Indonesia, bahkan mungkin sampai saat ini wacana kampungan dalam dangdut itu masih ada.
Siapakah Rhoma Irama? Dialah sang aktor intelektual dibalik kesyahduan setiap lagu-lagu yang diciptanya. Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya. Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film- film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. "Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas", tulis majalah TEMPO, 30 Juni 1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, "Saya takut publikasi. Ternyata, saya sudah terseret jauh."
Pada 13 Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem" yang bertujuan menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik Melayu serta melakukan improvisasi atas aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan di atas panggung. Menurut Ahmad Albar, “Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes Melayu dengan rock". Tetapi jika kita amati ternyata bukan hanya rock yang dipadu oleh Rhoma Irama tetapi musik pop, India, dan orkestra juga. Inilah yang menyebabkan setiap lagu Rhoma memiiki cita rasa yang berbeda.
Kecintaan sekaligus keprihatinannya pada musik Orkes Melayu (akar dari musik dangdut) yang termarginalisasi oleh gelombang musik Rock mendorong Rhoma Irama membentuk Soneta Group yang beranggotakan delapan personel pada 11 Desember 1970. Soneta berambisi untuk membuat revolusi musik di mana Orkes Melayu bisa berdiri sejajar dengan jenis musik lainnya.
Bersama Soneta Group, Rhoma sukses merombak citra musik dangdut (orkes melayu), yang tadinya dianggap musik pinggiran menjadi musik yang layak bersaing dengan jenis-jenis musik lainnya. Keseluruhan aspek pertunjukan orkes melayu dirombaknya, mulai dari penggunaan instrumen akustik yang digantinya dengan alat musik elektronik modern, pengeras suara TOA 100 Watt yang diganti dengan sound system stereo berkapasitas 100.000 Watt, pencahayaan dengan petromaks atau lampu pompa digantinya dengan lighting system dengan puluhan ribu Watt, begitu juga dengan koreografi serta penampilan yang lebih energic dan dinamis di atas panggung. Kesuksesannya bersama Soneta untuk merevolusi orkes melayu menjadi dangdut itulah yang menyebabkan seorang sosiolog Jepang, Mr. Tanaka, menyatakan Rhoma sebagai “Founder of Dangdut”.
Nama dangdut sendiri yang tadinya merupakan cemoohan atas musik orkes melayu berdasarkan suara gendangnya, justru diorbitkan Rhoma Irama pada tahun 1974 dengan menjadikannya sebagai sebuah lagu: Dangdut (yang kini lebih populer dengan nama Terajana). Bersama Soneta Group, Rhoma mewakili musik dangdut dalam konser perdamaian di Istora Senayan, berbagi panggung dengan Ahmad Albar dan God Bless sebagai representatif musik rock. Konser tersebut berhasil mendamaikan perseteruan yang selama itu terjadi antara kubu musik dangdut dan musik rock.
Pada tahun 1992 juga, Rhoma mendapatkan pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah Entertainment edisi Februari tahun tersebut mencantumkannya sebagai “Indonesian Rocker”. Album berisikan lagu Rhoma mendapat ulasan sebagai alunan musik yang seolah datang dari planet lain, dan mendapatkan predikat A+ yang sangat istimewa. Dalam cerita dibalik setiap lagu-lagunya, tidaklah melulu berteriak dari kanan ( kaidah agama ) yang dikumandangkan, melainkan pula banyak lagu Rhoma Irama yang berteriak dari kiri ( sosial atau kebijakan-kebijakan pemerintah ), sehingga Rhoma sering berseberangan dengan pemerintah, dan dianggapnya kurang sesuai dengan kaidah agama, seperti legalisasi Porkas dan SDSB. Lagu-lagu seperti “Pemilu” dan “Hak Asasi” (1977), “Sumbangan” dan “Judi” (1980), serta “Indonesia” (1982) sarat kritik dan sentilan, sehingga dia sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya.
Pada 16 November 2007, Rhoma menerima penghargaan sebagai ‘The South East Asia Superstar Legend’ di Singapura. Mengakhiri tahun 2007 yang lalu, Rhoma menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaran perdana Anugrah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards, yang akan dilangsungkan di Theater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, pada 23 Desember 2007. Nama Rhoma sendiri akan diabadikan sebagai nama piala untuk 6 kategori permainan instrumen musik Dangdut. Rhoma telah menciptakan lebih dari 500 lagu Dangdut, dan dia juga memperoleh predikat pencipta lagu Dangdut terlaris.
Bagi para penyanyi dangdut lagu Rhoma mewakili semua suasana ada nuansa agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan lain-lain. "Mustahil mengadakan panggung dangdut tanpa menampilkan lagu Bang Rhoma, karena semua menyukai lagu Rhoma," begitu tanggapan beberapa penyanyi dangdut dalam suatu acara TV. Rhoma juga sukses di dunia film, setidaknya secara komersial. Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Tetapi, "Rhoma tidak pernah makan dari uang film. Ia hidup dari uang kaset," kata Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung.
Rhoma tidak hanya mencurahkan perhatiannya pada dakwah dan syiar, tapi dia juga peduli dengan nasib sesama musisi, terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia Dangdut. Dia mendirikan PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat sebagai Ketua Umumnya. Dia juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas pembagian royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik Dangdut.
Kepedulian Sang Raja Dangdut akan masalah dan bencana yang menimpa saudara-saudara sebangsanya juga sangat tinggi. Rhoma bersama PAMMI aktif dalam menggalang dana untuk membantu korban gempa dan tsunami di Aceh. Secara pribadi, Rhoma menyumbangkan gitarnya untuk dilelang, dan laku terjual seharga Rp 150 juta, yang kira-kira setara dengan beras 10 truk.
DANGDUT DAN PERKEMBANGANNYA
Musik bagi sebagian orang adalah identitas diri. Karenanya, mereka memilih jenis musik tertentu sesuai dengan konsep diri masing-masing. Musik, di lain pihak, memiliki citra yang terbangun dari waktu ke waktu. Dangdut, misalnya. Pada suatu ketika, genre ini dianggap musik kampungan. Kini, image itu perlahan-lahan memudar menyusul beberapa musisi dangdut yang berhasil diterima kalangan atas.
Kata dangdut berasal dari suara alat musik gendang yang berbunyi "dang" dan "ndut." Pada awal 1970-an, sebuah artikel majalah menjelaskan, nama musik ini juga dikatakan sebagai sebutan sinis bagi bentuk musik melayu. Waktu itu, musik jenis ini sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja.
Dangdut berkembang dari akar musik Melayu sekitar 1940-an. Musik tersebut kemudian dilebur menjadi suatu jenis musik kontemporer yang banyak terpengaruh unsur musik India dan Arab. Pada perkembangan selanjutnya, dangdut terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain. Mulai dari keroncong, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Pada 1950 hingga 1960-an banyak berkembang orkes Melayu di Jakarta dan memainkan lagu-lagu Melayu Deli, Sumatra. Di masa inilah, unsur musik India masuk ke tubuh musik Melayu dan melahirkan cikal bakal musik dangdut. Perkembangan dunia perfilman dan situasi politik saat itu yang anti-Barat membuat mudah musik dangdut berkembang. Sejumlah tokoh dari jenis musik ini adalah P. Ramlee dari Malaysia, Said Effendi dengan lagu Seroja, Ellya Khadam dengan gaya panggung seperti penari India, Husein Bawafie sang pencipta tembang Boneka dari India, Munif Bahaswan, serta M. Mashabi pencipta skor film Ratapan Anak Tiri.
Tak lama kemudian, masuk pula pengaruh musik rock dari Barat yang kala itu identik dengan suara gitar listrik. Perubahan ini ditandai dengan lahirnya Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Musik dangdut pun memasuki era modern. Saat itu terjadilah persaingan musik rock dan dangdut untuk merebut pasar musik Indonesia. "Perseteruan" rock dan dangdut ini ditandai pula dengan adanya konser duel antara Soneta Grup dan kelompok musik rock God Bless.
Seperti disebutkan di atas, pada perkembangannya musik jenis dangdut memang dikenal mudah menerima segala unsur musik lain. Hingga lahirlah subgenre dangdut seperti rock-dut hasil campuran dangdut dan rock. Ada pula pop dangdut hingga house music dangdut. Semuanya memiliki perbedaan, baik dari tempo, ketukan nada dan lain-lain.
Dangdut dikenal hingga kini karena kesederhanaan dan kelugasan musik serta lirik yang diusung. Karakter ini memang cocok untuk kalangan masyarakat bawah sehingga dangdut mendapat tempat di hati mereka. Namun, kini keberadaan jenis musik dangdut telah diakui hingga masyarakat kalangan atas. Dalam perjalanan hingga sekarang, dangdut terus memperbaiki imagenya. Mulai dari segi musik dan aksi panggung para musisi dan penyanyi dangdut di atas pentas, hingga cara berpakaian dan berjoget dangdut. Mereka terlihat lebih elegan saat ini. Hasilnya, kini dangdut bisa dinikmati berbagai lapisan masyarakat Tanah Air.
Sejumlah artis dan musisi genre musik selain dangdut kini mencoba memadukan pijakan musik mereka dengan dangdut. Ada yang menciptakan lagu dangdut, menyanyikan lagu dangdut, sampai berpindah haluan musik ke dangdut, contohnya adalah penyanyi Denada. Denada adalah seorang penyanyi pop sekaligus rap yang merubah aliran musiknya menjadi dangdut. Bisa jadi karena kecintaannya terhadap musik jenis ini. Grup musik Project Pop, Slank, hingga Dewa 19 pun tidak segan-segan menyanyikan lagu dangdut dengan lantang. Hal ini semakin membuktikan dangdut yang makin membumi.
Tidak tanggung-tanggung, musik yang katanya kampungan dan untuk kalangan bawah ini sudah merambah Amerika. Di gelaran bertajuk Dangdut In America ini, seorang pemenang telah terpilih. Pria berkulit hitam asal Amerika Serikat, Arreal Hank Tilghman menjuarai hajatan dangdut tersebut. Kemenangannya ini sekaligus membukukan rekor penyanyi dangdut asing asal Amerika pertama. untuk itu, ia diganjar penghargaan dari MURI atas prestasi yang diukir di ajang tersebut. Hal ini juga membuktikan bahwa dangdut kini diterima berbagai kalangan bahkan mendunia.(Bjk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar